Posts

Politik Biaya Murah?

Image
2019, saat akan maju menjadi calon Anggota Legislatif, kader sebuah partai menyatakan bahwa politik itu mahal. Membutuhkan banyak uang. Biaya politik itu besar.  Menjadi seorang yang ingin maju, bertarung di arena politik harus mempersiapkan biaya politik. Siap banyak uang kalau mau terpilih.  Ia kemudian terpilih. Keterpilihannya karena ia melakukan "money politik". Memberikan uang kepada orang yang memilihnya. Sekali lagi ini peryataannya kepada konstituennya setelah pelantikan.  2020, kader partai yang sama, mengatakan akan maju menjadi calon bupati dengan biaya yang murah. Politik Biaya murah.  Untuk orang lain yang kebetulan bukan pemilih pada dapil yang sama akan merasa hebat dengan gagasan ini.  Bagi saya, ini sebuah ketidak-konsisten.  Masa, masih dari partai yang sama dengan kader yang sama, pernyataan berubah-ubah! Atau ini pernyataan by design. Jualan isu  pemimpin yang lahir dari kelompok kecil/miskin. Dengan demikian akan mengundang simpati dari masya

Kompetisi Perhatian

Image
Perhatian anak saat ini, luar biasa terhadap orang tua. Khususnya dalam urusan dokumen kependudukan.  Kalau dulu, kewalahan menemukan data orang tua dalam kartu keluarga. Bahkan kalaupun meminta bantuan anak-anaknya, akan ada banyak alasan.  Sekarang beda. Saya menangkap kesan kompetisi antara anak untuk memasukan nama orang tua dalam kartu keluarga. Bisa berarti, kompetisi perhatian terhadap orang tua.  Tentu ini kabar baik. Terutama bagi yang membutuhkan data lansia untuk berbagai jenis program bantuan sosial. Memang tidak semua anak begitu. Tetapi pengaruh bansos lanjut usia sangat baik memacu perhatian anak terhadap orang tua. Apalagi sudah sampai pada level tertinggi. Kompetisi. Krispianus Longan SDM PKH RIMBA

SDN Waesaok

Image
Dokpri 1 Januari 2015 bertepatan dengan perayaan tahun baru, pemuda Waesaok, Desa Benteng Tawa mengadakan diskusi pendidikan bersama seluruh masyarakat di kapela Lingkungan St. Maria Waesaok.  Yang dibahas lebih banyak berkaitan dengan motivasi pendidikan: Mengajak orang tua untuk selalu mendukung pendidikan anak. Mendorong adik-adik pelajar untuk selalu rajin ke sekolah untuk mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).  Juga mendorong tenaga pendidikan dari dua lembaga pendidikan SDN Waesaok dan SMPN 2 Riung agar tidak pernah lelah mendampingi peserta didik.  Saat mendapatkan kesempatan bicara saya secara sengaja menyoal SDN Waesaok yang jarang mengajar, melatih dan mementas kebudayaan setempat (Budaya Riung) dalam kegiatan sekolah.  Saya tidak bermaksud mengajak masyarakat berpikir kedaerahan (cukup memirkan budaya Riung saja). Maksudnya, mengajak lembaga-lembaga pendidikan yang ada untuk melestarikan budaya lokal juga.  Mendengar kritik tersebut, seorang guru SDN

Harga yang Adil

Image
  Gambar:Pixabay Petani selalu mendapatkan harga yang tidak adil dari usaha pertanian. Misalnya, harga beras. Dalam kondisi langkah sekalipun, sulit sekali petani bisa menjual dengan harga Rp. 10.000/kg. Kalau beruntung, paling seharga Rp. 9.000/kg.  Padahal harga beras di pasaran paling rendah Rp. 9.000/kg. Itupun untuk beras dengan kualitas jelek. Sedangkan, beras kualitas baik selalu dijual diatas Rp. 11.000/kg.  Ini persoalan klasik desa-desa yang memiliki potensi unggulan di sektor padi. Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, rantai pemasaran yang panjang. Biasanya petani sebagai produsen beras tidak bisa, terbatas akses untuk menjual beras secara langsung kepada konsumen. Sejauh ini petani menjualnya ke pengumpul ditingkat desa. Baru kemudian pengumpul tingkat desa yang menjual kepada konsumen.  Selisih harga saat membeli dari petani dengan harga saat jual merupakan keuntungan yang akan diperoleh pedagang pengumpul atau tengkulak.  Ke

Kelakuan Pegawai

Image
(Serial Ahmad 13) Gambar:tirto.id Sebulan sekali kelompok miskin di BT mengadakan pertemuan kelompok. Kumpul bersama antara sesama penerima bantuan dan pegawai yang ditugaskan untuk mendampingi. Pertemuan kelompok merupakan kesempatan untuk edukasi dan pendampingan dalam bidang: pendidikan, ekonomi, kesehatan maupun perlindungan sosial. Kesempatan untuk tranfer pengetahuan dan keterampilan.  Masyarakat akan diberitahu kalau belum tahu, dilatih kalau belum cukup keterampilan. Momen untuk membagi keberhasilan yang sudah diperoleh dalam kehidupan, baik sebagai masyarakat miskin maupun sebagai pendamping.  Itu tujuan pertemuan yang disampaikan oleh pendamping kepada semua anggota penerima bantuan di BT saban hari. Namun tujuan itu kemudian dilanggar kembali oleh pendamping.  Bukan barang baru, pikir Ahmad. Semua pegawai (pemimpin) kelakuannya memang begitu. Amnesia. Apa yang disampaikan kemudian dilanggar kembali. Mereka yang menetapkan keputusan, mereka pula yang

New Normal

Image
(Serial Ahmad 12) Dokpri: KPM PKH Desa Wolomeze II Sekelompok orang berdiskusi tentang hal yang asing ditelinganya, new normal. Mereka berdiskusi di Bank, tempat Ahmad mengambil bantuan kemarin.  Mereka ini datang dari kelas yang berbeda. Menggunakan pakaian yang bagus, sepatu yang tidak pernah terlihat jual di pasar desa. Ditambah ransel yang dikenakan, mungkin senilai bantuan untuk sepuluh orang.  Dari Penampilan, terlihat mereka kaum terdidik. Wajar kalau bahan diskusinya hanya dimengerti oleh sesama mereka sendiri. Kehadiran mereka sangat menarik perhatian orang desa yang baru sesekali ke kota.   Walau lebih banyak tidak memahami yang didiskusikan, diam-diam Ahmad menguping diskusi tersebut.  Tidak semua sepakat dengan new normal. Yang tidak setuju khawatir akan serangan pandemi tahap 2. Mereka merujuk pada peristiwa flu Spanyol 1918. Sejarah memang mencatat, wabah susulan di negeri dengan julukan Matador memang lebih berbahaya, memakan korban lebih besar. 

Berlabuh di Kios

(Ahmad seri ke-11) "Ahmad, besok kita berangkat ke Bank, bantuan sudah masuk. Sudah bisa pencarian!" Marta, ketua kelompok penerima bantuan di BT menyampaikan informasi itu sore tadi. Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu datang juga. Bantuan untuk bulan ini sudah masuk. Syukurlah, ada dana untuk menunjang kebutuhan bulan ini.  Ahmad sudah mempersiapkan diri sejak subuh besoknya. Ia bergabung bersama sebagian besar rombongan berangkat mengunakan taxi. Pilihan yang paling terjangkau bagi masyarakat di BT. Bersama dengan mereka, ada sebagian penerima bantuan memilih transportasi ojek. Tentu pilihan yang sangat boros, pikir Ahmad.  Dengan taxi mereka hanya membayar Rp.40.000,- untuk biaya pergi pulang, sedangkan dengan ojek harus membayar Rp.100.000,-. Belum lagi harus menanggung biaya makan tukang ojek. Semua itu akan bersandar pada uang bantuan. Bisa dibayangkan kalau mereka mendapat bantuan senilai Rp.600.000,- apabila dikurangi sewa ojek dan biaya makan sebes