Harga yang Adil

 
Gambar:Pixabay

Petani selalu mendapatkan harga yang tidak adil dari usaha pertanian. Misalnya, harga beras. Dalam kondisi langkah sekalipun, sulit sekali petani bisa menjual dengan harga Rp. 10.000/kg. Kalau beruntung, paling seharga Rp. 9.000/kg. 

Padahal harga beras di pasaran paling rendah Rp. 9.000/kg. Itupun untuk beras dengan kualitas jelek. Sedangkan, beras kualitas baik selalu dijual diatas Rp. 11.000/kg. 

Ini persoalan klasik desa-desa yang memiliki potensi unggulan di sektor padi. Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, rantai pemasaran yang panjang.

Biasanya petani sebagai produsen beras tidak bisa, terbatas akses untuk menjual beras secara langsung kepada konsumen. Sejauh ini petani menjualnya ke pengumpul ditingkat desa. Baru kemudian pengumpul tingkat desa yang menjual kepada konsumen. 

Selisih harga saat membeli dari petani dengan harga saat jual merupakan keuntungan yang akan diperoleh pedagang pengumpul atau tengkulak. 

Kedua, monopoli harga. Dilakukan oleh beberapa pengusaha yang ada di tingkat desa. Bisa jadi merupakan kesepakatan antara beberapa pengusaha agar mereka memperoleh keuntungan dalam jumlah banyak. Kelompok ini biasanya mengendalikan harga sesuai kehendaknya.

Persoalan ini sebenarnya mudah diatasi, cukup memanfaatkan peluang otonomi desa. Untuk menciptakan harga yang adil pemerintah desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDESA), membuat unit bisnis usaha jual beli beras. 

Tugas dari unit bisnis ini membeli beras dari petani dengan harga yang layak. Minimal petani bisa mendapatkan harga Rp.10.000/kg. Harga yang layak merupakan jaminan bagi semua masyarakat desa agar menjual ke BUMDESA. 

Selain itu, BUMDESA juga berfungsi sebagai penyangga harga ditingkat desa. Tujuannya untuk mencegah monopoli harga oleh beberapa oknum. 

Harus diakui ini pilihan yang tidak terlalu populer di desa saat ini. Yang populer masih pada kegiatan pembangunan fisik: rumah layak huni,  wc sehat, rabat dan semua yang berbentuk bangunan fisik. 

Saya beberapa kali terlibat dalam musrembang desa untuk mendorong pembentukan badan usaha milik desa dan penyertaan modal usaha. Biasanya respon forum minim. Kalaupun ada penyertaan modal maka jumlahnya terbatas. Kapan majunya?

Harga yang adil juga diperoleh kalau kelompok-kelompok tani diberdayakan. Memang sudah banyak Kelompok yang dibentuk di desa selama ini, tetapi lebih banyak sebagai kelompok dadakan untuk menyambut bantuan. 

Kelompok seperti ini dibentuk hanya untuk menangkap bantuan tersebut. Setelah bantuan datang kelompok tersebut menjadi tidak jelas lagi. 

Mereka belum dilatih secara baik. Kemampuan dan skill belum di upgrade.  Keadaan ini yang menyulitkan untuk mempersatukan mereka dalam perjuangan mendapatkan harga yang adil.

Krispianus Longan 
SDM PKH RIMBA 

Comments

Popular posts from this blog

SDK Rupingmok

SDN Munting

SABANA OLAKILE