Petani tidak Keren?


Dokpri
Saya sering mendengar orang-orang tua di desa menasihati anaknya untuk tidak menjadi petani, "Jangan jadi petani, tidak pasti pendapatannya!". Padahal mereka sendiri hidup dari pertanian. Saya juga sering mendengar kritik yang terkesan membunuh karakter pemuda, baik lulusan SMA maupun Perguruan Tinggi, yang kebetulan memilih menjadi petani di desa. "Sekolah percuma, ada ijazah tetapi jadi petani, macam kami yang tidak sekolah saja". 

Bagi yang tidak tahan dengan kritik, mungkin akan pontang-panting mencari pekerjaan dimana saja agar diakui kembali sebagai 'lulusan pendidikan yang berguna di kampung'. Padahal, mungkin saja bayaran dari pekerjaan tersebut tidak seberapa, bahkan tidak cukup hanya untuk kebutuhan pulsa sebulan. Atau bisa jadi, kerjaan baru tersebut tidak jauh beda, 'sama kotornya' dengan menjadi petani. 

Terhadap hal seperti ini, saya biasanya merespon biasa saja bahkan memakluminya. Bukan hal baru, orang kampung (tidak semua ya) memang demikian karakternya. Terlatih untuk menilai orang sedetail mungkin, padahal hidupnya tidak lebih baik dari orang yang dinilai atau yang dikritiknya. 

Saya sendiri, selalu yakin bahwa pertanian dan petani merupakan usaha dan profesi keren masa kini. Juga sangat menjanjikan dimasa depan. Setidaknya ada dua ukuran yang menjadi patokan dalam menilai pertanian itu keren.

Pertama, usaha pertanian memiliki keuntungan yang besar. Dengan catatan, petani melakukan analisa usaha tani dan melaksanakannya. 

Analisa usaha tani merupakan rincian pengeluaran dan pemasukan dari usaha tani yang dilakukan. Panduan untuk pekerjaan selama satu musim. 

Sebagai contoh: hasil usaha sawah yang berukuran 1 hektar dengan melakukan analisa usaha, mendapatkan keuntungan senilai Rp. 15.000.000,-. Pendapatan bersih dari bekerja padi selama tiga bulan. 

Bisa dibilang gaji selama tiga bulan dari usaha sawah. Itu berarti dalam sebulan akan mendapatkan gaji senilai Rp.5.000.000,- dari bekerja di sawah. Pendapatan yang jauh lebih besar dari beberapa 'pekerjaan kantoran' yang hanya digaji senilai Rp. 600.000,-/bulan. 

Tentu dengan catatan tadi, melakukan analisa usaha tani dan menerapkannya. Butuh ketelatenan dari seorang petani dalam melakukan hal tersebut.

Karena, belajar dari pengalaman banyak petani, seringkali tidak melakukan analisa usaha tani, sehingga tidak tahu persis besaran keuntungan yang diperoleh setiap musimnya. 

Kedua, pertanian sudah tidak identik dengan profesi yang kotor lagi. Coba searching di internet, ada banyak teknologi yang sudah diciptakan untuk mempermudah usaha pertanian. Teknologi-teknologi tersebut bahkan sudah ada di desa-desa dan siap menunjang usaha. 

Sentuhan teknologi ini yang akan membuat petani tidak identik kontor dan lumpur. Lagian tidak usah malu karena bekerja kotor. Malulah kalau belum bisa menghasilkan sesuatu bagi diri sendiri. Apalagi masih terus bergantung pada orang tua. Itu baru tidak keren yang sesungguhnya. 

Salam Petani.
Krispianus Longan 
#petanimuda
#sdmpkh
#rimba

Comments

Popular posts from this blog

SDK Rupingmok

SDN Munting

SABANA OLAKILE