INKONSISTENSI PETANI DALAM PERJUANGAN MERUBAH NASIB



Gambar: Dokpri penyerahan alat untuk kelompok untuk kelompok Saate, Desa Maurole

Masalah terbesar yang dialami oleh semua kelompok masyarakat di Indonesia termasuk petani adalah kemiskinan. Masalah ini bukan merupakan persoalan baru bagi masyarakat. Kemiskinan adalah masalah klasik yang selalu dikemukakan oleh semua orang.  

Dalam menangani masalah kemiskinan, sudah ada berbagai upaya dari sekian banyak. LSM Tananua yang merupakan salah satu NGO lokal di Ende juga telah melakukan berbagai kegiatan untuk mengurngai kemiskinan tersebut. 

Upaya yang dilakukan oleh Tananua salah satunya dengan program kakao lestari (Sustainable Cocoa Produktion Program). Program dari kementrian dalam negri yang dimenangkan oleh konsorsium Swisscontact dan Veco Indonesia ini menyasar kelompok-kelompok tani kakao, empat Kabupaten di Nusa Tengara Timut yaitu: Kabupaten Ende, Kabupaten Sikka, dan Kabupaten Sumba Timur. 

Sampai dengan tahun ini program SCPP sudah melakukan pendampingan selama dua tahun. Sebagai bagian dari program yang berinteraksi lansung dengan masyarakat dalam kelompok-kelompok pertanian, kita menemukan fakta  inkonsistensi masyrakat dalam menjalankan program pengurangan angka kemiskinan dengan peningkatan pendapatan ekonomi rumah tangga. 

Tidak konsistennya masyarakat dalam perjuangan merubah nasib ini dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu: pertama, masyarakat merasa nyaman dengan status mereka yang miskin. Kedua masyarakat mau lansung berurusan dengan uang, tidak mau kalau kita mengurus kebun dulu sebagai sumber penghasilan/uang keluarga. Ketiga, kecemburuan sosial yang masih tinggi. 

Berkaitan dengan rasa nyaman ini sebagai orang miskin sesungguhnya masih berkaitan dengan upaya memelihara kemiskinan dari pemerintah dengan hadirnya berbagai jenis bantuan seperti bantuan keluarga harapan. Secara tidak lansung bantuan ini membuat masyarakat untuk malas bekerja. Masyarakat menganggap bahwa walaupun tidak bekerja kami pun masih diberikan perhatian dari pemerintah. Untuk itu perlu ada komunikasi yang baik antara pemerintah dan lembaga-lembaga yang ada dalam menentukan penerima bantuan ini. Jangan sampai ada kecendrungan untuk membantu orang-orang tertentu saja sehingga memupuk kibiasaan ini. 

Bekaitan dengan masyarakat mau lansung berhadapan dengan uang, hal ini merupakan sebuah gejalah baru dalam masyarakat kita. Untuk itu perlu ada upaya membangun pemahaman secara bersama dan seragam bahwa kebun kakao adalah sumber keuangan keluarga yang sebenarnya. Kalaupun ada bantuan dana berkaitan dengan program, itu hanya sebuah ransangan untuk memacu petani lebih giat bekerja. Bukan sebaliknya kita menghitung berapa jumlah uang yang diberikan oleh lembaga-lembaga yang mendampingi kita. Lebih parah lagi mengatakan tidak menerima pendampingan kalau tidak membawa serta uang duduk.

Soal cemburu sosial dimasyarakat memang merupakan sebuah dilemma untuk kita pendamping lapangan karena pasti ada saja yang tidak suka pada saat membangun relasi/pertemanan dengan semua orang dalam kelompok. Ada oknum yang belum rela, kalau semua anggota kelompok maju dalam sebuah program. Tindakan tidak sepakat ini bisa ditunjukan dengan tidak mau terlibat secara aktif dalam kegiatan kelompok.   

Tiga hal inilah yang merupakan bagian dari gugatan inkonsistensi dari petani-petani sasaran program SCPP dalam perjuangan untuk keluar dari kemiskinan. Pada prinsipnya berapa saja yang mau terlibat dalam program SCPP, itu adalah aset kelompok yang harus dijaga, supaya mereka bisa menjadi pionir-pionir kesuksesan dalam mengatasi kemiskinan. 

Comments

Popular posts from this blog

SDK Rupingmok

SDN Munting

SABANA OLAKILE