CACI DALAM BAYANG-BAYANG GLOBALISASI

Dokpri: Caci di kampung Damu, Desa Benteng Tawa
Sabtu 16 November saya mengikuti acara caci.  Sebuah tarian perang sebagai ungkapan syukur masyarakat. Caci merupakan sebuah warisan budaya yang masih terus jalankan oleh generasi penerus. Caci merupakan rangkaian upacara syukur yang berlansung setiap tahun. 

Caci tersebut berlansung di kampung adat Damu Desa Benteng Tawa Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada.

Pada pelaksanaan caci kali ini saya membawa serta teman-teman kerja untuk menyaksikan. Ada 5 orang yang ikut bersama dalam rombongan. 

Selama kegiatan caci berlansung ada berbagai macam komentar dari teman-teman. Pada dasarnya mereka mengagumi kekayaan budaya ini. 

Dari sekian banyak komentar tersebut adalah komentar dari Rian yang paling mengangu saya. Teman yang baru pertama kali menonton caci mengemukakan hal yang tidak biasa. Apakah antusias masyarakat hanya seperti ini? Kebetulan memang yang terlibat dalam kegiatan tidak terlalu banyak terlebih kususnya anak muda generasi penerus. 

Saya kemudian menyatakan bahwa bahwa kenyataannya memang sudah seperti yang disaksikan. Partisipasi masyarakat untuk terlibat sudah tidak sebanyak dulu. Apalagi kalau kita berbicara tentang keterlibatan orang muda. 

Minimnya partisipasi masyarakat khusunya orang muda dalam kegiatan ini menunjukan bahwa dampak globalisasi sudah sampai mempengaruhi aspek budaya. Caci yang semestinya merupakan sebuah warisan sakral kini sudah banyak ditinggalkan. 

Ada beberapa hal yang menyababkan hal ini terjadi yaitu: Kaderisasi yang tidak berjalan. Kaderisasi yang sama sekali tidak tersentuh adalah bagian dari kelalaian orang tua. Mereka tidak mau membagi/bercerita tentang kebudayaan ini bagi generasi muda sehingga generasi mudah  menhetahui tentang kebudayaan. 

Hal lain adalah minat belajar budaya lokal dari generasi muda sudah mulai menurun. Pemuda sudah tidak tertarik untuk mempelajari warisan kebudayaan ini. Pengaruh budaya luar lebih besar dari warisan bidayanya sendiri. 

Selain itu pelaksanaan sangsi adat bagi pihak/orang yang tidak terlibat atau membuat kegaduhan sudah tidak konsisten. Dengan demikian masyarakat sudah mulai acuh tak acuh. Masyarakat kebanyakan sudah tidak patuh lagi. 

Ketiga hal ini tentu saja akan sangat berpengaruh bagi kelanjutan kegiatan caci. Kalau tidak dibenah segerah maka bukan tidak mungkin acara caci tinggal kenagan di kampung adat Damu, Desa Benteng Tawa, Kecamatan Riung Barat. 

Untuk itu beberapa hal praktis perlu dilakukan oleh masyarakat adat setempat. Pertama, bersama lembaga-lembaga pendidikan yang ada memasukan ritus caci sebagai salah satu mata pelajaran dari muatan lokal (mulok). Dengan demikian generasi muda dalam hal ini pelajar dapat belajar caci disekolah. Sekolah juga bisa mengemas pelajaran ini seperti meminta pelajar menulis urutan ritus dalam acara caci. Tugas seperti ini tentu saja akan melibatkan orangtua atau masyarakat dalam proses pendidikan. 

Kedua, penerapan sangsi adat bagi pihak-pihak yang terlibat mestinya dikawal secara berkelanjutan. Dengan demikian ada efek pembelajaran bagi semua masyrakat adat setempat. 

Ketiga perlu melengkapi/mengumpulkan kembali simbol-simbol adat yang sudah tercecer. Disadari atau tidak simbol-simnol adat adalah bagian yang tak terpisahkan dari ritus caci tersebut. Dengan demikian kekika orang melihat simbol adat maka mereka akan tertatik mempelajari budaya mereka. Termasuk tarian caci. CACI

Comments

Popular posts from this blog

SDK Rupingmok

SDN Munting

SABANA OLAKILE